BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang
melibatkan panca indera anak.
Sehingga
melalui panca indera tersebut anakcepat mendapat ilmu pengetahuannya. Sebagai contoh anak
yang belajar melalui mata,
anak
melihat bahwa ada bunga berwarna merah, buah berwarna kuning dsb. Sedangkan melalui panca
indera telinga anak akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
bunyi. Misalnya
bunyi seekor katak, seekor
ayam, burung
dan sebagainya. Melalui
panca indera telinga anak akan dapat mengidentifikasi benda. Anak yang belajar
melalui indera lidah akan mengetahui berbagai rasa seperti, manis, asam, asin dan sebagainya. Melalui indera hidung
anak dapat belajar bau. Ada
bau wangi, ada
bau menyengat, dan
sebagainya. Sedangkan
indra kulit anak akan merasa dingin,
sejuk, panas dan sebagainya.
Berkaitan dengan uraiana di atas, sebelum
anak bisa membaca dan menulis, mengerti
angka dan huruf dan/atau
berhitung, langkah pertama yang harus dikenalkan
kepada anak-anak adalah pengenalan konsep, setelah melalui
beberapa tahapan pengenalan konsep dan latihan motorik halus. Kemudian anak-anak masuk
ke dalam tahap transisi dari pengenalan konsep ke angka. Selanjutnya setelah
anak mengerti konsep dan angka dapat di berikan latihan atau pengayaan
berhitung.
Dalam kasus lain, pelajaran
matematika atau berhitung untuk sebagian siswa dianggap pelajaran yang sulit
dan menakutkan. Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum
siap atau ada faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar
atau ada masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi,
gangguan persepsi dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika
bahwa di dalam proses keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan
kemampuan kognitif untuk berpikir logis dan analitis, “... sehinga bagi yang
bermasalah dalam kemampaun kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika
belajar matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996:86)
Keterampilan matematika atau berhitung tetap harus
dipelajari oleh setiap anak agar menjadi bekal hidupnya di masa depan, sebab
tidak bisa dipungkiri bahwa hampir dalam setiap kehidupan manusia membutuhkan
kemampuan berhitung. Melalui keterampilan berhitung diharapkan anak mampu
memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan nyata yang membutuhkan
keterampilan matematika atau berhitung.
Bagi anak-anak tunagrahita sedang, mereka juga perlu
belajar berhitung. Namun tentunya pelajaran berhitung yang disampaikan kepada
anak tunagrahita sedang berbeda dengan pelajaran matematika atau berhitung pada
umumnya. Materi
pelajaran berhitung bagi anak tunagrahita sedang harus lebih kongkrit dan sesuai dengan
kebutuhannya. Jika sesuai dengan hal itu maka mereka pun dapat mengikuti pelajaran
berhitung dengan baik.
Konsekuensi dari hal di atas dibutuhkan kreatifitas
guru dalam menentukan materi pelajaran berhitung bagi anak tunagrahita sedang.
Guru harus mencari materi-materi yang dapat memperkuat konsep berhitung
terutama keterampilan pra syarat atau keterampilan pra berhitung.
Menurut Piaget (Mercer dan Mercer, 1989:188)
“Keterampilan pra berhitung meliputi ketrampilan klasifikasi, seriasi,
korespondensi, konservasi.
Guru harus mengajarkan materi pra berhitung terlebih dahulu sebelum mengajarkan
konsep bilangan dan perhitungan.
Guru bagi anak tunagrahita sedang sering mengeluh
kesulitan mengajarkan berhitung pada anak didiknya. Mereka mengatakan sulit
sekali siswanya itu memahami konsep lambang bilangan 1, 2, dan seterusnya.
Ternyata kesulitan itu terjadi karena ada beberapa
keterampilan pra berhitung yang belum dikuasai oleh anak tunagrahita sedang,
sementara itu konsep lambang bilangan sudah termasuk pada pengajaran pada tahap
setelah pra berhitung. Maka guru akan kesulitan mengajarkan konsep lambang
bilangan itu.
Kondisi seperti itulah yang banyak terjadi di
lapangan. Guru kurang memahami tahapan pembelajaran dalam berhitung, pada hal
tahapan itu perlu dilalui sehingga guru dapat dengan mudah menyampaikan materi
dan anak/siswa pun dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan gurunya.
Proses pengajaran pra berhitung penting bagi anak
agar mampu menguasai keterampilan berhitung pada tingkat berikutnya.
Misalnya, anak tidak akan bisa penjumlahan apa bila keterampilan pra
syarat berhitungnya belum terpenuhi. Berdasarkan masalah-masalah tersebut
karya tulis ilmiah ini bermaksud mengkaji lebih jauh bagaimana pengajaran pra
berhitung untuk anak tunagrahita sedang.
B.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup dalam karya tulis ilmiah ini dibatasi
oleh topik-topik sebagai berikut:
1. Konsep
dasar anak tunagrahita sedang
2. Kemampuan
pra berhitung anak tunagrahita sedang
3. Konsep
dasar pra berhitung
4. Pengajaran
pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang
C.
Rumusan
Masalah
Masalah utama dalam karya tulis ilmiah ini adalah:
“Bagaimanakah pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang”.
Untuk menjawab masalah utama tersebut maka
permasalahan yang diajukan dalam karya tulis ilmiah ini meliputi:
1. Bagaimana
konsep dasar anak tunagrahita sedang?
2. Bagaimana
kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang?
3. Bagaimana
konsep dasar pra berhitung?
4. Bagaimana
seharusnya pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang?
D.
Tujuan
Tujuan utama dari karya tulis ilmiah ini adalah
menjelaskan pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang. Secara
khusus tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan
gambaran tentang konsep dasar anak tunagrahita sedang ditinjau dari pengertian,
hambatan, dan kebutuhan belajarnya.
2. Menjelaskan
pengertian pra berhitung, meliputi klasifikasi, mengurutkan dan seriasi,
korespondensi, serta konservasi.
3. Memberikan
gambaran kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang.
4. Memberikan
gambaran pengajaran pra berhitung bagi anak tunagrahita sedang, mulai dari perumusan
tujuan, materi, metode, alat/media, pembelajaran, dan evaluasi.
E.
Manfaat
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberi
manfaat, sebagai berikut:
1.
Manfaat
bagi guru
a. Dapat
dijadikan salah satu acuan dalam mengembangkan materi pelajaran berhitung
sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita sedang.
b. Guru
dapat dengan mudah menyampaikan materi dan anak/siswa pun dapat dengan mudah
memahami materi yang disampaikan gurunya
2.
Manfaat
bagi siswa
a. Pengajaran
pra berhitung penting bagi anak agar mampu menguasai keterampilan berhitung
pada tingkat berikutnya
b. Melalui
keterampilan berhitung diharapkan anak mampu memecahkan persoalan-persoalan
dalam kehidupan nyata yang membutuhkan keterampilan matematika atau berhitung
3.
Manfaat
bagi pembaca
Dapat memperkaya
khasanah keilmuan pendidikan luar biasa, khususnya dalam kaitan pembelajaran
pra berhitung pada anak tunagrahita sedang.
F.
Sistematika Penulisan
Agar karya tulis ilmiah ini
tersusun secara sistemik dan sistematik, maka sistematika diatur sedemikian
rupa agar lebih jelas dan rinci. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagi
berikut: Bab I Pendahuluan, meliputi
latar belakang masalah, ruang lingkup,
rumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Teori, meliputi konsep dasar anak tunagrahita sedang
yang memaparkan tentang pengertian anak
tunagrahita dan hambatannya. Bab III
Pembahasan, meliputi kemampuan pra
berhitung anak tunagrahita sedang dan pembelajaran pra berhitungnya.
BAB
II
KAJIAN TEORI
Konsep
Dasar anak Tunagrahita Sedang
1.
Pengertian
Untuk memahami anak tunagrahita ada baiknya kita
memahami definisi tentang anak ini yang dikembangkan oleh AAMD
(American Association on Mental Deficiency) (Kauffman dan Hallahan, 1986. Somantri, S.,
2006:104) menjelaskan bahwa: “keterbelakangan mental
menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai
ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa
perkembangannya.
Somantri, S. dalam bukunya mengelompokkan kemampuan intelegensi
anak tunagrahita yang kebanyakan diukur dengan tes Standford Binet dan Skala
Weschler (WISC) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita
Sumber: Blake 1976 (Somantri, S. 2006)
Klasifikasi
|
IQ
|
Stanford Binet
|
Skala Weschler
|
1. Tunagrahita ringan
|
68 – 52
|
69 – 55
|
2. Tunagrahita sedang
|
51 – 36
|
54 – 40
|
3. Tunagrahita berat
|
32 – 90
|
39 – 25
|
4. Tunagrahita sangat berat
|
>19
|
>24
|
Berkenaan dengan anak
tunagrahita sedang (moderate mental retardation), menurut AAMD (Amin, 1995:22):
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini memiliki hambatan dalam kecerdasan,
adaptasi sosial, bermasalah dalam pemeliharaan diri, bermasalah dalam belajar,
serta dalam pekerjaan. Namun demikian mereka masih mempunyai kemampuan untuk
berkembang dalam bidang akademik dasar, penyesuaian sosial, dan kemampuan
bekerja.
2.
Hambatan
Hambatan yang
dimiliki oleh anak tunagrahita sedang dapat meliputi hambatan dalam
pemeliharaan diri, penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar dan “... kesulitan
dalam pekerjaan” (Astati, 2001:11).
a.
Hambatan
dalam pemeliharaan diri
Anak tunagrahita
sedang kesulitan dalam mengurus diri. Misalnya bagaimana cara makan-minum,
berpakaian, menjaga kebersihan diri, keselamatan, dan lain-lain.
b.
Masalah
penyesuaian diri
Astati (2001:12)
menyatakan “Anak tunagrahita sedang cenderung tidak dapat menyesuaikan diri
dengan orang di sekitarnya”. Oleh sebab itu mereka harus dibiasakan untuk
bergaul dengan orang lain di luar anggota keluarganya dan sering mengadakan
orientasi lingkungan.
c.
Kesulitan
dalam belajar dan pekerjaan
Berhubung
kecerdasan anak tunagrahita sedang sangat terbatas, tentu akan mengakibatkan
adanya kesulitan dalam belajar...”siswa-siswa dengan ketunagrahitaan juga lemah
dalam berhitung,....”(Drew dan Hardman, 2004).
d.
Kebutuhan
Pada dasarnya
penyandang tunagrahita memiliki kebutuhan yang sama dengan anak-anak pada
umumnya, tetapi karena keterbatasan yang dimilikinya mengakibatkan mereka
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Astati (2001:12) menjelaskan
kebutuhan yang dimaksud antara lain adalah “Kebutuhan fisik, kebutuhan akan
penghargaan, rasa aman, rasa percaya diri, komunikasi, disiplin, berkelompok,
kebutuhan akan pendidikan dan pekerjaan”. Selain kebutuhan-kebutuhan itu, anak
tunagrahita sedang juga “Membutuhkan kehidupan beragama, bersosialisasi,
perlindungan hukum, dan kebutuhan dasar lainnya (Sunardi dan Sugiarmin,
2006:45).
Jadi pada
dasarnya anak tunagrahita sedang memiliki kebutuhan yang sama, mulai dari
kebutuhan dasar hingga kebutuhan yang bersifat tambahan/pelengkap. Hanya saja,
mereka ini ketergentungan pada lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan ini sangat
tinggi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kemampuan Pra Berhitung
Pada Anak Tunagrahita Sedang
Bentuk
hambatan belajar yang berkaitan dengan keterampilan berhitung meliputi semua aspek
keterampilan berhitung, mulai dari pengenalan konsep bilangan dan lambang bilangan
hingga operasi hitungan. Anak tunagrahita sedang
mengalami kesulitan pada semua aspek keterampilan berhitung disebabkan
kecerdasannya yang sangat terbatas sehingga mereka kesulitan untuk mempelajari
hal-hal yang bersifat akademik, diantaranya keterampilan berhitung.
Akan
tetapi, bukan berarti lemah dalam aspek akademik lalu mereka tidak bisa
berprestasi baik dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Dengan latihan yang rutin
terutama dalam hal-hal yang sifatnya non akademik dan sederhana, mereka masih
dapat dilatih dan dapat melakukannya dengan baik (Rahardja, 2006).
Meskipun
mereka mengalami hambatan dalam keterampilan berhitung, anak tunagrahita sedang
masih dapat dikembangkan potensi/kemampuan berhitungnya melalui penguasaan
keterampilan pra berhitung.
B.
Pembelajaran
Pra Berhitung
Membuat perecanaan
untuk generalisasi dan membuat konsep-konsep yang abstrak menjadi lebih
kongkrit merupakan beberapa strategi penting dalam pembelajaran bagi mereka. Seperti halnya beberapa siswa memerlukan
krikulum kecakapan hidup dan akademik fungsional, sementara yang lainnya
mengikuti kurikulum pendidikan umum. Adanya beberapa pilihan tersebut
menggambarkan adanya praktek pembelajaran yang direkomendasikan.
Pembelajaran
pra berhitung dalam karya tulis ilmiah ini berdasarkan pendapat Piaget (Mercer
dan Mercer, 1989:188) bahwa ‘Pembelajaran pra berhitung meliputi klasifikasi,
seriasi, korespondensi, dan konservasi’.
1. Klasifikasi
(Mengelompokkan)
Piaget (Mercer
dan Mercer, 1989:188) mengatakan bahwa:
Klasifikasi
adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai
sebelum belajar bilangan. Klasifikasi melibatkan hubungan persamaan, perbedaan,
dan pengkategorisasian (categorizing) obyek menurut sifat-sifat khususnya.
Sifat khusus ini dapat berupa warna, bentuk, ukuran, dan berat.
Contoh mengelompokkan
warna:
Kelompokkanlah
bola yang berwarna merah!
Contoh mengelompokkan
bentuk
Kelompokkan bentuk lingkaran!
Contoh
mengelompokkan berdasarkan
ukuran
Kelompokkan segitiga yang
berukuran lebih kecil
Anak pada umumnya
menguasai klasifikasi pada usia 5-7 tahun, namun pada anak tunagrahita sedang
pencapaiannya pada usia yang lebih tua dari itu. Anak tunagrahita sedang lebih
lambat menguasai konsep klaisifkiasi ini karena hambatan mental yang
dimilikinya. Pada tahapan awal mereka hanya mampu membedakan 2 bentuk atau dua
warna, itu pun dengan perdebdan yang sangat ekstrim. Pada tahap ini mereka
belum bisa menyebutkan nama bentuk atau warna yang harus dikelompokkan
tersebut.
2. Ordering (Mengurutkan) dan Seriasi (Menyusun)
Mengurutkan (ordering) adalah kemampuan mengurutkan
obyek berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan
dari urutan. Misalnya, anak mengurutkan obyek berdasarkan pola warna atau pola bentuk
Contoh:
Mengurutkan pola warna (3 pola warna)
Mengurutkan pola bentuk
.
. . . . .
Sedangkan seriasi adalah “Menyusun obyek berdasarkan
ukurannya mulai dari yang terendah sampai yang paling tinggi atau dari yang
terkecil sampai yang terbesar” (Homdijah, 2004:193).
Contoh:
Mengurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar
Ordering dan seriasi menjadi aspek pra
berhitung karena berkaitan dengan sifat bilangan dalam aritmatika/berhitung
yang memiliki sifat keteraturan yang disusun secara terpola dan berurut.
Buktinya, yaitu bilangan itu di susun mulai dari nilai yang terkecil sampai
yang terbesar: 1 kemudian 2, setelah 2, 3 dan seterusnya (1, 2, 3, 4, dan
seterusnya). Urutan bilangan itu pun berseri. Satu seri terdiri dari sepuluh
bilangan dan disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar. Misalnya, 1
sampai 10, 11 sampai 20 dan seterusnya.
Tahapan
ini merupakan tahapan yang lebih rumit dibandingkan tahapan sebelumnya. Jika
anak tunagrahita sedang belum menguasai tahapan klaisifikasi maka tahapan
ordering dan seriasi akan sulit untuk dikuasai. Tahap awal ordering bagi anak
tungrahita sedang adalah dengan mengurutkan benda kongrit yang jumlah tidak terlalu banyak dan
perbedaannya harus ekstrim.
3.
Korespondensi
(Menilai jumlah dua obyek yang berbeda)
Pengertian
korespondensi menurut Mercer dan Mercer (1989:189) adalah:
Keterampilan memahami bahwa jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama
banyaknya dengan satu set obyek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan
karakteristik obyek tersebut.
Contoh
pada aspek ini misalnya; (a) anak menilai jumlah dua obyek yang berbeda (misalnya 3 pensil dengan 3 penghapus ); (b) menghubungkan antara
isi/nilai dengan lambang bilangan (gambar dua
telur dihubungkan dengan lambang bilangan 2,
gambar empat buah jerukl
dihubungkan dengan lambang bilangan 4).
Contoh:
Menilai jumlah dua objek yang berbeda
Menghubungkan isi/nilai dengan lambang bilangan
|
=
|
|
|
=
|
|
Keterkaitan
aspek korespondensi dengan keterampilan berhitung adalah menanamkan konsep pada
anak bahwa adanya hubungan antara isi/nilai dengan lambang bilangan, sehingga
anak mampu menghubungkan antara isi dan lambang bilangan. Meskipun lambang
bilangan itu ditulis besar-besar tetapi isi/nilainya tetap. Lambang bilangan 1
artinya memiliki isi/nilai satu. Oleh karena itu dalam korespondensi ini pun
anak dilibatkan dalam aktifitas menghubungkan antara lambang bilangan dengan
isi/nilainya.
Bagi
anak tunagrhita sedang dalam menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek
itu berbeda maka pada tahap awal mereka harus mampu menunjukkan jumlah obyek
yang lebih banyak atau sebaliknya.
4.
Konservasi
Konservasi
adalah “Banyaknya obyek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan
meskipun letaknya berubah” (Mercer dan Mercer, 1989:189).
Tahapan
ini merupakan tahapan yang paling rumit dan tahapan yang paling tinggi. Anak
tunagrahita akan mampu menguasai tahapan ini jika obyek yang digunakan benar-benar
ekstrim perbedaannya.
C.
Pembelajaran
Pra Berhitung Pada Anak Tunagrahita Sedang
1.
Asesmen
Asesmen
adalah proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seseorang anak yang
berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang
saat itu. “Mengumpulkan informasi yang relevan, sabagai bahan untuk
menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan, dan menerapkan seluruh proses
pembuatan keputusan tersebut” (Mcloughlin dan Lewis, 1986:3).
Jadi
asesmen adalah proses pengumpulan data untuk mengetahui kemampuan dan hambatan
dalam pembelajaran anak, sehingga dari data tersebut dapat diambil keputusan
untuk menentukan program pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan anak.
Contoh asesmen:
a. Kalisifikasi
1)
Simpan bola yang
berwarna merah ke dalam keranjang merah dan bola berwarna hijau ke dalam
keranjang hijau.
2)
Pisahkah bola-bola
kecil dengan bola-bola besar
b. Seriasi dan ordering
1)
Urutkan balok
yang paling besar sampai yang paling kecil!
2)
Susunlah
seperti contoh
. . . . .
c. Korespondensi
1)
Mana yang lebih banyak?
2)
Mana
yang lebih sedikit?
3)
Mana yang paling besar?
4)
Mana yang paling kecil?
2.
Merencanakan
program pembelajaran
Di
dalam merencakan program pembelejaran pra berhitung ini ditentukan tujuan, materi,
metode, dan evaluasi.
a. Tujuan
Merumuskan
menggunakan kata operasional sehingga kemajuan anak dapat diukur.
b. Materi
Materi disusun
dari yang mudah menuju yang sulit
sehingga tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai, sesuai dengan
kebutuhan anak.
c. Metoda
Metoda
demonstrasi dan tanya jawab adalah
cara yang efektif. Melalui contoh kongkrit anak
tunagrahita akan lebih mudah memahami materi yang disampaikan.
d. Evaluasi
Bentuk evaluasi
bagi pembelajaran pra berhitung ini adalah tes kinerja. Evaluasi ini bertujuan
untuk mengetahui kemajuan belajar siswa dan efektifitas pembelajaran.
e. Alat/media pembelajaran
Media
pembelajaran yang sesuai dengan materi dan menggunakan alat/bahan yang murah
dan mudah didapat.
3.
Pelaksanaan
Pembelajaran
Di
bawah ini akan diuraikan contoh-contoh kegiatan pembelajaran pra berhitung bagi
anak tunagrahita
sedang.
a. Klasifikasi
1)
Tujuan : Anak/siswa mampu
mengelompokkan bentuk geometri (lingkaran, bujur sangkar dan segitiga).
2)
Materi :
Mengelompokkan bentuk lingkaran dan segitiga.
3)
Alat/media pembelajaran : gambar bentuk-bentuk geometri
(lingkaran, bujur sangkar dan segitiga), benda kongkrit dfi sekitar kelas
4)
Kegiatan Pembelajaran:
Guru menyiapkan beberapa lembar kertas yang telah diberi gambar
bentuk-bentuk geometri, seperti
lingkaran, bujur sangkar, dan segitiga dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna.
Kegiatan Klasifikasi
Guru
memberikan lembar kertas yang telah diberi gambar
bentuk-bentuk geometri, seperti
lingkaran, bujur sangkar, dan segitiga dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna kepada masing-masing siswa. Kemudian anak disuruh
mengelompokkan gambar bentuk-bentuk geometri tersebut.
(a)
Guru: Amatilah gambar itu!
(b)
Guru: Lingkarilah gambar-gambar itu menurut bentuknya!
(c)
Guru: Silanglah gambar-gambar itu menurut warnanya!
(d)
Guru: Apakah
gambar-gambar itu berwarna sama? Apabila anak menjawab
”tidak” maka pertanyaan dapat dikembangkan dengan mencari warna
yang sama dengan warna-warna yang ditanyakan dengan menggunakan
benda-benda di sekitar kelas
(e)
Guru ”Apakah gambar-gambar itu mempunyai bentuk yang sama?”
Apabila anak menjawab ”tidak” maka pertanyaan dapat dikembangkan dengan menggunakan bentuk-bentuk benda yang ada di
sekitar kelas.
(f)
Guru dapat
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan
seperti pada (d) dan (e).
b. Ordering dan Seriasi
1)
Tujuan: Anak/siswa mampu
mengurutkan dari yang paling pendek ke yang paling panjang dan dari yang paling
kecil ke yang paling besar.
2)
Materi:
·
Mengurutkan pola
bentuk geometri.
·
Mengurutkan dari yang
paling kecil ke yang paling besar.
3)
Alat/media pembelajaran:
lidi dan kancing
4)
Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan
ordering:
Guru meminta anak
untuk melakukan kegiatan seperti di bawah ini:
(a)
Bermain pola dengan
bentuk geometri
(b)
Mengurutkan
pola berikut ini
. . . .
Kegiatan
Seriasi:
Guru menyediakan sejumlah lidi yang sama.
Setiap lidi memiliki ukuran yang berbeda. Kemudian anak diminta
untuk menyusun lidi itu dari yang terpendek sampai yang terpanjang atau dari
yang terpanjang ke yang terpendek.
c. Korespondensi
1)
Tujuan: Anak/siswa mampu
menghubungkan jumlah suatu benda dengan
benda lain yang sesuai.
2)
Materi: Menghubungkan antara
jumlah benda dengan benda lain yang
memiliki jumlah yang sesuai
3)
Alat/Media
pembelajaran: kartu gambar,benda kongkrit, miniatur, dan lain-lain.
4)
Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan
Korespondensi
Melakukan kegiatan yang jumlah suatu benda dengan benda lain yang memi;liki jumlah sesuai,
misalnya anak diminta menarik garis dari gambar tiga buah bola ke gambar benda lain yang sesuai jumlahnya.
Guru: Tariklah garis dari gambar ke lambang bilangan yang sesuai!
d. Konservasi
1)
Tujuan: Anak/siswa mampu
memahami konsep jumlah/isi benda tidak berubah meskipun wadah atau tempatnya
berbeda.
2)
Materi: Isi/jumlah
tidak
berubah
3)
Alat/Media pembelajaran:
gelas dan air
4)
Kegiatan Pembelajaran:
Kegiatan Konservasi
Guru
menyediakan dua buah gelas satu yang tinggi dan satu berukuran pendek,
kemudian guru mengisi
tiap gelas dengan air yang sama banyak
(di hadapan anak)
kemudian guru memindahkan isi pada gelas
yang pendek kedalam mangkok
Guru: Apakah air didalam
gelas yang satu
sama banyaknya dengan air yang ada dalam mangkok?
Kemudian
guru menjelaskan kepada siswa bahwa meskipun tempanya berbeda-beda tetapi
volume/isinya tetap sama.
e. Evaluasi
Evaluasi harus
berpedoman pada tujuan pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui
kemajuan belajar siswa dan efektifitas pembelajaran. Bentuk evaluasi bagi
pembelajaran pra berhitung ini adalah tes kinerja. Evaluasi dilakukan
dengan cara mengamati dan menilai langsung pekerjaan anak pada setiap tahap
pembelajaran.
Contoh evaluasi:
1. Klasifikasi
a)
Kumpulkan/kelompkkan
benda ini berdasarkan warna!
b)
Kumpulkan
benda-benda ini berdasarkan bentuknya!
2. Ordering dan seriasi
a)
Urutkanlah mulai dari
yang paling kecil
hingga yang paling besar!
b)
Lengkapilah
pola warna berikut ini!
3. Korespondensi
Tariklah garis dari gambar bola ke gambar yang sesuai jumlahnya!
4. Konservasi
Apakah air didalam
gelas yang tinggi sama banyaknya dengan air yang ada dalam mangkok?
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
bahwa anak tunagrahita sedang masih mampu belajar berhitung yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari dan menyangkut langsung dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
Pembelajaran
berhitung bagi anak pada umumnya sudah dianggap sulit apalagi oleh anak
tunagrahita sedang, oleh karena itu dibutuhkan suatu pembelajaran yang bertahap; mulai dari pra
berhitung sebagai dasar bagi penguasaan keterampilan berhitung, mulai dari yang sederhana sampai ke tahap yang rumit.
Melalui
pembelajaran pra berhitung, anak tungrahita sedang akan memperoleh pengalaman
nyata sehingga akan tertanam konsep berhitung pada diri mereka bahwa berhitung
itu penting dan berguna bagi kehidupannya.
B. Saran
Melalui
saran-saran di bawah ini diharapkan dapat membantu semua pihak dalam rangka
meningkatkan kemampuan pra berhitung anak tunagrahita sedang. Adapun sara-sarannya
sebagai berikut:
1.
Sebelum melakukan
pembelajaran pra berhitung harus dilakukan asesmen terlebih dahulu, agar
diperoleh informasi yang berkaitan dengan kemampuan awal anak dalam pra
berhitung.
2.
Sumber material atau
alat peraga dapat menggunaka benda-benda yang ada di sekitar kita.
3.
Orangtua seharusnya menjalin komunikasi yang baik dan intens
dengan guru kelas mengenai perkembangan kemampuan pra berhitung anaknya dan
sekaligus menanyakan cara-cara mengajarkan pra berhitung di sekolah supaya
sejalan dengan cara belajar yag dilakukan di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0610307_chapter2.pdf
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0610307_chapter3.pdf
Rahardja, Dj. (2006).
Pengantar Pendidikan Luar Biasa.
Japan: University of Tsukuba.
Somantri, S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung:
Refika Aditama
Universitas
Pendidikan Indonesia. (2007). Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.